Burung-burung Manyar
Pengarang :
Y.B. Mangunwijaya
Penerbit :
DJAMBATAN
Cetakan :
1993, 260 hlmn
Y.B.
Mangunwijaya terlahir di Ambarawa 1929. Lulusan Institut Filsafat dan
Teologi "Sancti Pauli", Yogyakarta 1959 & Sekolah
Teknik Tinggi Rheinland-Westfahlen, Aachen, Republik Federasi Jerman
1966.
Roman
ini ia tulis dengan penuh sensasional. Dari segi bahasa yang terkesan
beragam. Campuran yang terdiri Jawa, Indonesia, & Belanda. Antara
Kias & Harfiah. Serta ningrat Jawa & Belanda mewarnai setiap
alur cerita dari sudut pandang romam ini.
Mengisahkan
konflik asmara antara Teto & Atik. Teto Sutadewa yang merupakan
buah keturunan campuran antara pribumi 'Brajabasuki' Mangkunegara
dengan putri Belanda Verdiland 'Marice' memihak Belanda untuk melawan
Jepang melalui bantuan dari mantan ibunya, Verbruggen. Sementara si
Atik Larasati memilih pihak Republik, bergabung menjadi sekretaris S.
Syahrir membela Ir. Soekarno mempertahankan kemerdekaan dari
bandit-bandit penjajah negeri.
Judul
dari roman ini berkaitan erat dengan perumpamaan yang sering dipakai
oleh tokoh-tokohnya dalam menggambarkan konflik lahir batin yang
mereka hadapi. Mereka mempersonifikasikannya dengan burung. Terutama
burung Manyar. Bahkan di akhir cerita penulis menyatakan : ...
"Ataukah karena aku masih belum berani mengorbankan citra
terakhir yang paling indah dari sejarah hidupku, citra Atik ? Ingin
kutanyakan itu pada burung-burung manyar. Tetapi sekarang sudah
jarang kulihat mereka. "
Suatu
kisah yang mengajarkan para pembacanya tentang arti sebuah harga
diri, kekeluargaan, persahabatan, jiwa ksatria, & cinta tanah
air. Roman berlatar belakang perang tapi menggambarkan pula konflik
batin percintaan insani dengan baik. Diwarnai dengan berbagai kiasan
majas yang sempurna dalam setiap halaman cerita. Bahkan judul setiap
babnya pun memakai majas personifikasi yang baik, sangat sesuai
dengan alur kisah yang diceritakan. Hanya saja perpaduan istilah Jawa
& Belandanya mungkin dapat membuat pembacanya bingung karena
harus sering menengok catatan kakinya.
Dan,
yang justru tidak saya sukai adalah akhir kisahnya. Damai tapi
menyedihkan !!Bayangkan saja !! Semua konflik sudah selesai tapi
seorang tokohnya gugur karena kecelakaan pesawat. Gila .. !!
Tapi
biarlah.... !
Untuk
bagian akhir saya hanya menilai secara pribadi.
Cocok
sekali roman ini dibaca oleh para pengagum sastra yang digentayangi
oleh rasa penasaran mereka akan ragam bahasa kesusastraan. Sebab,
roman ini memicu keseriusan mereka dalam membaca. Bukan menambah
pengetahuan tapi melatih kemampuan mereka menamatkan bacaan. Intinya,
membaca roman ini dapat mengajarkan mereka bahwa suatu karya sastra
itu biarpun terkesan membosankan karena karena padat sekali bacaannya
namun seni sastra yang ada padanya tetaplah indah.